PERADABAN
ISLAM PADA MASA AL-MU’TSHIM BILLAH
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen
Pengampu: Drs. H. M. Solikhin Nur, M.Ag
Disusun
Oleh:
Diasih
Azzahra 123911122
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Yang dimaksud dengan
sejarah Islam di kawasan kebudayaan Arab adalah kegiatan umat Islam yang berda
di kawasan Arab meliputi kawasan Timur Tengah. Kawasan ini sangat penting untuk
diketahui, dari sanalah muncul agama Islam yang pertama kali memakai bahasa
Arab, juga karena wilayah tersebut merupakan jantung dunia.
Sejarah merupakan bagian
penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, maupun individu.
Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Oleh
karena itu, tanpa mengetahui sejarah, maka proses kehidupan tidak akan di
ketahui.
Dengan sejarah kita dapat
mengetahui betapa umat Islam pernah mencapai suatu kejayaan yang diakui
oleh dunia internasional. Ini di mulai pada masa Rosulullah hingga di zaman
sekarang. Namun kami hanya akan membahas kejadian pada masa Al-Mu’tashim
Billah. Mu’tashim adalah orang yang pandai, cerdas dan pro dengan rakyat.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Siapa
Al-Mu’tashim Billah?
B.
Bagaimana
pemerintahan pada masa Al-Mu’tashim Billah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Al-Mu’tashim
Billah
Nama lengkap dari
Al-Mu’tashim adalah Abu Ishak Muhammad Al-Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid. Beliau
lahir pada tahun 187 H dari seorang ibu yang bernama Maridah. Mu’tashim adalah
seorang pejuang Mu’tazilisme di istananya.[1]
Ia menjabat sebagai khalifah menggantikan saudaranya, Al-Makmun. Dalam
literatur sejarah, ia dikenal dengan julukan Al-Mu’tashim Billah (yang
berlindung kepada Allah). Ia adalah khalifah yang pertama kali menghubungkan
nama Allah dengan namanya. Ia memerintah
dari tahun 218-227 H/833-842 M.[2]
Sejak muda Al-Mu’tashim
tergolong seorang militer yang memegang kedisiplinan tinggi. Ia mempunyai tubuh
yang kekar dan kuat. Para ahli sejarah ada
yang menyebutnya dengan Al-Mutsammim atau “Sang Delapaan”. Mengapa demikian?
Karena ia sangat akrab dengan angka delapan. Mu’tashim menjabat khalifah ke-8
Bani Abbas. Ia wafat dalam usia 38 tahun. Masa pemerintahannya menurut kalender
Hijriyah berusia 8 tahun 8 bulan 8 hari. Ketika wafat, ia meninggalkan 8 putra
dan 8 putri.
Setelah enam tahun
berkuasa, menjelang wafat tidak seperti pendahulunya menunjuk pengganti.
Mu’tashim tidak menunjuk siapapun sebagai penggantinya. Mu’tashim meninggal
pada tahun 842 M dan akhirnya digantikan oleh putranya Al-Watsiq.
B.
Pemerintahan
pada masa Al-Mu’tashim Billah
Periode
Abbasiyah II berlangsung selama 99 tahun, dipimpin oleh 13 Khalifah. Periode
ini bisa dikatakan sebagai awal kelemahan Dinasti Abbasiyah. Khalifah Al-
Mu’tasim (218-227H/833-842M) menggantikan khalifah Al-Ma’mun, ia memberikan
peluang besar terhadap orang-orang turki dalam masalah ketentaraan, dan
pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Pada masa
pemerintahannya, ia membaca situasi politik yang memang banyak diwarnai oleh
orang-orang Persia. Oleh karena Al-Mu’tashim orang tuanya adalah orang Turki
maka ia banyak merekrut orang-orang Turki untuk dijadikan pengawal dalam rangka
mengimbangi dominasi orang-orang Persia. Ia juga mempromosikan orang-orang
Turki untuk memduduki jabatan-jabatan penting di kemiliteran. Artinya, di zaman
ini berarti orang-orang Turki mengambil alih posisi-posisi penting orang-orang
Persia sebelumnya mereka kuasai.
Tidak seperti
pada masa daulah Umayyah, dinasti Abasiyah mengadakan perubahan sistem
ketentaraan. Membuat kebiasaan orang-orang muslim mengikuti perjalanan perang
menjadi terhenti. Pasukan tentara terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang
profesional. Banyak pula diantara orang Turki yang diberi jabatan gubernur dan
panglima perang. Akibatnya tentara menjadi sangat dominan dan banyak memberikan
pengaruh kepada Khalifah. Dengan
demikian, kekuatan militer dinasti abbas menjadi sangat kuat.
Pada masa ini siapa yang tidak setuju dengan pemikiran Mu’tashim atau
dengan Al-Qur’an sebagai makhluk maka dia dihukum dan dicambuk. Namun dilain
pihak Mu’tashim, suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan, ia serahkan
kepada ahlinya.[3]
Kebebasan diskusi tentang semua masalah diizinkan kecuali dogma-dogma keyakinan
yang lain.
Dia bertindak
seperti yang dilakukan oleh Al-Makmun dan menghabiskan masa-masa akhir hidupnya
dengan menguji manusia tentang kemakhlukan Al-Qur’an. Dia menulis surat
perintah agar semua penduduk mengakui hal itu. Dia memerintahkan kepada para
guru dan pengajar untuk mengajari anak didik mereka dengan paham tersebut.
Tindakannya ini membuat banyak orang menderita kesengsaraan. Banyak ulama yang
dibunuh karena mereka menolak menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Imam
Ahmad sendiri adalah orang yang menerima petaka ini, dia dihukum cambuk.
Pencambukkan Imam Ahmad ini terjadi pada tahun 220 H.[4]
Walaupun
demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern
Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan zindik di Persia,
gerakan Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Akan
tetapi semuanya dapat dipadamkan.[5]
Masalah yang
muncul ke permukaan kemudian adalah tampaknya dominasi orang-orang Turki di
pemerintahan tidak disukai oleh orang-orang Baghdad dan para veteran pasukan
Arab sehingga menimbulkan pertempuran berdarah. Kemudian Al-Mu’tashim terpaksa
membangun ibu kota baru, Samarra, sebagai basis militer dan administrasi
pemerintahan yang jaraknya sekitar 70 mil sebelah utara baghdad. Sementara
baghdad tetap menjadi pusat kebudayaan dan perdagangan. Tindakan Al-Mu’tashim
tersebut berakibat ketergantungannya kepada orang-orang Turki semakin tinggi.
Ia banyak didikte oleh orang Turki tetapi ia masih mampu mengendalikan tetapi
tidak demikian pada zaman-zaman sesudahnya.[6]
Pada tahun 220
H dia memindahkan ibu kotanya dari Bagdad ke Surra man Ra’a (yang
kemudian menjadi Samura, artinya secara bahasa adalah yang melihat akan
senang). Faktor penyebabnya bahwa ia pada saat itu sibuk mencari orang-orang
yang berasal dari turki sehingga harus mengutus orang-orangnya ke berbagai
tempat seperti Samarkand, Farghanah dan yang lain untuk dibeli. Untuk keperluan
ini ia telah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Al-Mu’tashim
memberikan pakaian kepeda orang-orang Turki dari bahan sutera dan berbagai
hiasan dari emas. Orang-orang Turki ini sering kali memacu kudanya di
tengah-tengah Kota Bagdad sehingga terasa menjadi sesak dengan para pendatang
baru ini.
Khalifah pindah
bersama korp-korps kayangannya ke suatu tempat yang disebut Samara. Di sana
beliau mendirikan sebuah istana, masjid dan sekolah-sekolah. Tidak lama
kemudian Samara mulai menyaingi Baghdad di dalam kemegahannya, tetapi ia tidak
pernah menggantikan Baghdad sebagai pusat intelektual yang besar. Hal ini juga
didukung oleh kondisi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini berkembang
dengan pesat, bukan hanya ilmu pengetahuan umum tetapi ilmu pengetahuan agama.[7]
Kejadian ini
mendorong penduduk Baghdad untuk datang menemui Al-Mu’tashim, mereka memprotes
masalah sosial baru tersebut seraya berkata, “Jika kau tidak mengusir mereka
dari Baghdad dengan tentaramu, maka kami penduduk baghdad akan memerangimu!”
Al-Mu’tashim berkata, “Bagaimana mungkin kalian bisa memerangiku?”
Mereka berkata, “kami akan memerangimu dengan panah-panah
bersihir.”
Al-Mu’tashim menjawab, “ Kalau itu yang akan kalian lakukan, maka
saya tidak memiliki kemampuan.”
Inilah yang
menyebabkan dia memindahkan ibu kota khalifah dari Bagdad ke Surra Man Raa.
Pada tahun 223 H, Al-Mu’tasim melakukan peperangan ke negeri Romawi. Serangan
ini menimbulkan kerugian yag sangat besar di pihak tentara Romawi yang tidak
pernah terjadi sebelumnya dan belum pernah dilakukan oleh khalifah manapun. Al-Mu’tasim
telah berhasil menghancur leburkan barisan mereka dan merobohkan
bangunan-bangunan mereka, serta mampu membuka ‘Amuriyyah dengan pedang.[8]
Pada
penyerangan itu sekitar tiga ribu tentara Romawi terbunuh dan sekitar tiga
puluh ribu lagi tertawan. Pada saat dia mempersiapkan bala tentaranya untuk
menyerang Romawi, orang-orang ahli ramal mengatakan bahwa dia akan terkalahkan
karena menurut mereka tahun itu adalah tahun perunggu, namun yang terjadi
justru sebaliknya. Kemenangan yang dihasilkan oleh Al-Mu’tashim menunjukkan
betapa dia benar-benar piawai dalam berperang.
Al-Mu’tashim
meninggal pada hari kamis tanggal 19 Rabiul Awal tahun 227 H. Dia telah
berhasil menaklukan berbagai musuh di beberapa wilayah. Disebutkan bahwa pada
saat dia sakit, dengan mengutip firman Allah dia berkata.
“sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang kami berikan kepada mereka, Kami
siksa mereka dengan sekonyong-konyong”
(Al-An’aam: 44)
Pada
detik-detik kematiannya dia berkat, “ kini habislah daya upaya,” juga
disebutkan bahwa dia berkata, “ saya akan diambil dari kumpulan manusia.” Juga
disebutkan bahwa dia berkata, “ Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa saya
takut kepada-Mu dari diriku dan saya tidak takut kepada-Mu dari diri-Mu dan
bukan berharap dari diriku.”
Dia
berkeinginan untuk menyerbu ke wilayah Barat Afrika dengan tujuan untuk
menguasai wilayah-wilayah yang belum masuk dalam kekuasaan Bani Abbas karena Bani Umayyah menguasai wilayah-wilayah
tersebut.
Ash-Shuli
meriwayatkan dari Ahmad bin Al-Khashib dia berkata: Al-Mu’tashim berkata, “
sesungguhnya Bani Umayyah saat berkuasa tidak seorangpun dari kita (Bani Abbas) yang berkuasa di satu
wilayah. Sedangkan ketika kini berkuasa, mereka juga memiliki wilayah kekuasaan
di Andalusia.
Setelah itu dia
mempersiapkan semua sarana perang untuk memerangi orang-orang Bani Umayyah,
namun pada saat itu penyakitnya semakin parah dan akhirnya dia meninggal dunia.
Beberapa tokoh
penting yang meninggal di zaman khalifah Al-Mu’tashim Billah yaitu: Al-Humaid
(guru imam bukhori), Abu Na’im Al-Fadhl bin Dakin, Abu Ghassan Al-Mahdi, Qalun
(seorang pakar qiraat), Khallad (seorang pakar qiraat), Adam bin Abi Iyas,
Affan, Al-Qa’nabi, Abdan Al-Marwazi, Abdullah bin Shaleh (sekertaris Al-Laits),
Ibrahim bin Al-Mahdi, Sulaiman bin Al-Harb, Ali bin Muhammad Al-Madaini,
Abu’Ubaid Al-Qasim bin Salam, Qarrah bin Hbib, ‘Arim, Muhammad bin Isa
Ath-Thabba’ Al-Hafizh, Ashbagh bin Al-Farj (seorang pakar Nahwu), Muhammad bin
Salam Al-Bikandi, Sanid, Sa’id bin Katsir b in ‘Ufair, Yhya bin Yahya at-Tamimi
dan yang lainnya.[9]
IV.
KESIMPULAN
Nama lengkap dari
Al-Mu’tashim adalah Abu Ishak Muhammad Al-Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid. Beliau
lahir pada tahun 187 H dari seorang ibu yang bernama Maridah. Mu’tashim adalah
seorang pejuang Mu’tazilisme di istananya. Mu’tashim meninmggal pada
tahun 842 M.
Dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern
Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan zindik di Persia,
gerakan Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Akan
tetapi semuanya dapat dipadamkan.
Dia memindahkan ibu kotanya dari Bagdad ke Surra man Ra’a
(yang kemudian menjadi Samura, artinya secara bahasa adalah yang melihat
akan senang). Faktor penyebabnya bahwa ia pada saat itu sibuk mencari
orang-orang yang berasal dari turki sehingga harus mengutus orang-orangnya ke
berbagai tempat seperti Samarkand, Farghanah dan yang lain untuk dibeli. Untuk
keperluan ini ia telah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar.
Al-Mu’tashim memberikan pakaian kepeda orang-orang Turki dari bahan sutera dan
berbagai hiasan dari emas. Orang-orang Turki ini sering kali memacu kudanya di
tengah-tengah Kota Bagdad sehingga terasa menjadi sesak dengan para pendatang
baru ini.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah
yang dapat kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna.
Namun itulah yang dapat kami usahakan. Kami mengharapkan saran ataupun kritikan
yang membangun demi kebaikan dan kelengkapan makalah selanjutnya.
[1]
Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 2010), Hlm. 101
[2] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011) hlm 71-72.
[3] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011) hlm 71-72.
[4] Imam
As-Suyuthi,Tarikh Khulafa’ (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000) hlm 404.
[5] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003) hlm 53.
[6] Imam Fuadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011) hlm 144-145.
[7] Fatah Syukur,Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010) hlm 101.
[8] Imam
As-Suyuthi,Tarikh Khulafa’ (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000) hlm 405.
[9] Imam
As-Suyuthi,Tarikh Khulafa’ (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000) hlm 409-410.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar