profil

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan Prodi PGMI 2012

Senin, 01 Desember 2014

Tugas Aplikom 9



PERADABAN ISLAM PADA MASA AL-MU’TSHIM BILLAH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Drs. H. M. Solikhin Nur, M.Ag


Disusun Oleh:

Diasih Azzahra                 123911122

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014





       I.            PENDAHULUAN
Yang dimaksud dengan sejarah Islam di kawasan kebudayaan Arab adalah kegiatan umat Islam yang berda di kawasan Arab meliputi kawasan Timur Tengah. Kawasan ini sangat penting untuk diketahui, dari sanalah muncul agama Islam yang pertama kali memakai bahasa Arab, juga karena wilayah tersebut merupakan jantung dunia.
Sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, maupun individu. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, tanpa mengetahui sejarah, maka proses kehidupan tidak akan di ketahui.
Dengan sejarah kita dapat mengetahui betapa umat Islam pernah mencapai suatu kejayaan  yang diakui oleh dunia internasional. Ini di mulai pada masa Rosulullah hingga di zaman sekarang. Namun kami hanya akan membahas kejadian pada masa Al-Mu’tashim Billah. Mu’tashim adalah orang yang pandai, cerdas dan pro dengan rakyat.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Siapa Al-Mu’tashim Billah?
B.     Bagaimana pemerintahan pada masa Al-Mu’tashim Billah?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Al-Mu’tashim Billah
Nama lengkap dari Al-Mu’tashim adalah Abu Ishak Muhammad Al-Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid. Beliau lahir pada tahun 187 H dari seorang ibu yang bernama Maridah. Mu’tashim adalah seorang pejuang Mu’tazilisme di istananya.[1] Ia menjabat sebagai khalifah menggantikan saudaranya, Al-Makmun. Dalam literatur sejarah, ia dikenal dengan julukan Al-Mu’tashim Billah (yang berlindung kepada Allah). Ia adalah khalifah yang pertama kali menghubungkan nama Allah dengan namanya. Ia memerintah dari tahun 218-227 H/833-842 M.[2]
Sejak muda Al-Mu’tashim tergolong seorang militer yang memegang kedisiplinan tinggi. Ia mempunyai tubuh yang kekar dan kuat. Para ahli sejarah ada yang menyebutnya dengan Al-Mutsammim atau “Sang Delapaan”. Mengapa demikian? Karena ia sangat akrab dengan angka delapan. Mu’tashim menjabat khalifah ke-8 Bani Abbas. Ia wafat dalam usia 38 tahun. Masa pemerintahannya menurut kalender Hijriyah berusia 8 tahun 8 bulan 8 hari. Ketika wafat, ia meninggalkan 8 putra dan 8 putri.
Setelah enam tahun berkuasa, menjelang wafat tidak seperti pendahulunya menunjuk pengganti. Mu’tashim tidak menunjuk siapapun sebagai penggantinya. Mu’tashim meninggal pada tahun 842 M  dan akhirnya digantikan oleh putranya Al-Watsiq.

B.     Pemerintahan pada masa Al-Mu’tashim Billah
Periode Abbasiyah II berlangsung selama 99 tahun, dipimpin oleh 13 Khalifah. Periode ini bisa dikatakan sebagai awal kelemahan Dinasti Abbasiyah. Khalifah Al- Mu’tasim (218-227H/833-842M) menggantikan khalifah Al-Ma’mun, ia memberikan peluang besar terhadap orang-orang turki dalam masalah ketentaraan, dan pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Pada masa pemerintahannya, ia membaca situasi politik yang memang banyak diwarnai oleh orang-orang Persia. Oleh karena Al-Mu’tashim orang tuanya adalah orang Turki maka ia banyak merekrut orang-orang Turki untuk dijadikan pengawal dalam rangka mengimbangi dominasi orang-orang Persia. Ia juga mempromosikan orang-orang Turki untuk memduduki jabatan-jabatan penting di kemiliteran. Artinya, di zaman ini berarti orang-orang Turki mengambil alih posisi-posisi penting orang-orang Persia sebelumnya mereka kuasai.
Tidak seperti pada masa daulah Umayyah, dinasti Abasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Membuat kebiasaan orang-orang muslim mengikuti perjalanan perang menjadi terhenti. Pasukan tentara terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Banyak pula diantara orang Turki yang diberi jabatan gubernur dan panglima perang. Akibatnya tentara menjadi sangat dominan dan banyak memberikan pengaruh kepada Khalifah. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti abbas menjadi sangat kuat.
Pada masa ini siapa yang tidak setuju dengan pemikiran Mu’tashim atau dengan Al-Qur’an sebagai makhluk maka dia dihukum dan dicambuk. Namun dilain pihak Mu’tashim, suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan, ia serahkan kepada ahlinya.[3] Kebebasan diskusi tentang semua masalah diizinkan kecuali dogma-dogma keyakinan yang lain.
Dia bertindak seperti yang dilakukan oleh Al-Makmun dan menghabiskan masa-masa akhir hidupnya dengan menguji manusia tentang kemakhlukan Al-Qur’an. Dia menulis surat perintah agar semua penduduk mengakui hal itu. Dia memerintahkan kepada para guru dan pengajar untuk mengajari anak didik mereka dengan paham tersebut. Tindakannya ini membuat banyak orang menderita kesengsaraan. Banyak ulama yang dibunuh karena mereka menolak menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Imam Ahmad sendiri adalah orang yang menerima petaka ini, dia dihukum cambuk. Pencambukkan Imam Ahmad ini terjadi pada tahun 220 H.[4]
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Akan tetapi semuanya dapat dipadamkan.[5]
Masalah yang muncul ke permukaan kemudian adalah tampaknya dominasi orang-orang Turki di pemerintahan tidak disukai oleh orang-orang Baghdad dan para veteran pasukan Arab sehingga menimbulkan pertempuran berdarah. Kemudian Al-Mu’tashim terpaksa membangun ibu kota baru, Samarra, sebagai basis militer dan administrasi pemerintahan yang jaraknya sekitar 70 mil sebelah utara baghdad. Sementara baghdad tetap menjadi pusat kebudayaan dan perdagangan. Tindakan Al-Mu’tashim tersebut berakibat ketergantungannya kepada orang-orang Turki semakin tinggi. Ia banyak didikte oleh orang Turki tetapi ia masih mampu mengendalikan tetapi tidak demikian pada zaman-zaman sesudahnya.[6]
Pada tahun 220 H dia memindahkan ibu kotanya dari Bagdad ke Surra man Ra’a (yang kemudian menjadi Samura, artinya secara bahasa adalah yang melihat akan senang). Faktor penyebabnya bahwa ia pada saat itu sibuk mencari orang-orang yang berasal dari turki sehingga harus mengutus orang-orangnya ke berbagai tempat seperti Samarkand, Farghanah dan yang lain untuk dibeli. Untuk keperluan ini ia telah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Al-Mu’tashim memberikan pakaian kepeda orang-orang Turki dari bahan sutera dan berbagai hiasan dari emas. Orang-orang Turki ini sering kali memacu kudanya di tengah-tengah Kota Bagdad sehingga terasa menjadi sesak dengan para pendatang baru ini.
Khalifah pindah bersama korp-korps kayangannya ke suatu tempat yang disebut Samara. Di sana beliau mendirikan sebuah istana, masjid dan sekolah-sekolah. Tidak lama kemudian Samara mulai menyaingi Baghdad di dalam kemegahannya, tetapi ia tidak pernah menggantikan Baghdad sebagai pusat intelektual yang besar. Hal ini juga didukung oleh kondisi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini berkembang dengan pesat, bukan hanya ilmu pengetahuan umum tetapi ilmu pengetahuan agama.[7]
Kejadian ini mendorong penduduk Baghdad untuk datang menemui Al-Mu’tashim, mereka memprotes masalah sosial baru tersebut seraya berkata, “Jika kau tidak mengusir mereka dari Baghdad dengan tentaramu, maka kami penduduk baghdad akan memerangimu!”
Al-Mu’tashim berkata, “Bagaimana mungkin kalian bisa memerangiku?”
Mereka berkata, “kami akan memerangimu dengan panah-panah bersihir.”
Al-Mu’tashim menjawab, “ Kalau itu yang akan kalian lakukan, maka saya tidak memiliki kemampuan.”
Inilah yang menyebabkan dia memindahkan ibu kota khalifah dari Bagdad ke Surra Man Raa. Pada tahun 223 H, Al-Mu’tasim melakukan peperangan ke negeri Romawi. Serangan ini menimbulkan kerugian yag sangat besar di pihak tentara Romawi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan belum pernah dilakukan oleh khalifah manapun. Al-Mu’tasim telah berhasil menghancur leburkan barisan mereka dan merobohkan bangunan-bangunan mereka, serta mampu membuka ‘Amuriyyah dengan pedang.[8]
Pada penyerangan itu sekitar tiga ribu tentara Romawi terbunuh dan sekitar tiga puluh ribu lagi tertawan. Pada saat dia mempersiapkan bala tentaranya untuk menyerang Romawi, orang-orang ahli ramal mengatakan bahwa dia akan terkalahkan karena menurut mereka tahun itu adalah tahun perunggu, namun yang terjadi justru sebaliknya. Kemenangan yang dihasilkan oleh Al-Mu’tashim menunjukkan betapa dia benar-benar piawai dalam berperang.
Al-Mu’tashim meninggal pada hari kamis tanggal 19 Rabiul Awal tahun 227 H. Dia telah berhasil menaklukan berbagai musuh di beberapa wilayah. Disebutkan bahwa pada saat dia sakit, dengan mengutip firman Allah dia berkata.
“sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang kami berikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong” (Al-An’aam: 44)
Pada detik-detik kematiannya dia berkat, “ kini habislah daya upaya,” juga disebutkan bahwa dia berkata, “ saya akan diambil dari kumpulan manusia.” Juga disebutkan bahwa dia berkata, “ Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa saya takut kepada-Mu dari diriku dan saya tidak takut kepada-Mu dari diri-Mu dan bukan berharap dari diriku.”
Dia berkeinginan untuk menyerbu ke wilayah Barat Afrika dengan tujuan untuk menguasai wilayah-wilayah yang belum masuk dalam kekuasaan Bani Abbas karena      Bani Umayyah menguasai wilayah-wilayah tersebut.
Ash-Shuli meriwayatkan dari Ahmad bin Al-Khashib dia berkata: Al-Mu’tashim berkata, “ sesungguhnya Bani Umayyah saat berkuasa tidak seorangpun dari  kita (Bani Abbas) yang berkuasa di satu wilayah. Sedangkan ketika kini berkuasa, mereka juga memiliki wilayah kekuasaan di Andalusia.
Setelah itu dia mempersiapkan semua sarana perang untuk memerangi orang-orang Bani Umayyah, namun pada saat itu penyakitnya semakin parah dan akhirnya dia meninggal dunia.
Beberapa tokoh penting yang meninggal di zaman khalifah Al-Mu’tashim Billah yaitu: Al-Humaid (guru imam bukhori), Abu Na’im Al-Fadhl bin Dakin, Abu Ghassan Al-Mahdi, Qalun (seorang pakar qiraat), Khallad (seorang pakar qiraat), Adam bin Abi Iyas, Affan, Al-Qa’nabi, Abdan Al-Marwazi, Abdullah bin Shaleh (sekertaris Al-Laits), Ibrahim bin Al-Mahdi, Sulaiman bin Al-Harb, Ali bin Muhammad Al-Madaini, Abu’Ubaid Al-Qasim bin Salam, Qarrah bin Hbib, ‘Arim, Muhammad bin Isa Ath-Thabba’ Al-Hafizh, Ashbagh bin Al-Farj (seorang pakar Nahwu), Muhammad bin Salam Al-Bikandi, Sanid, Sa’id bin Katsir b in ‘Ufair, Yhya bin Yahya at-Tamimi dan yang lainnya.[9]
 IV.            KESIMPULAN
Nama lengkap dari Al-Mu’tashim adalah Abu Ishak Muhammad Al-Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid. Beliau lahir pada tahun 187 H dari seorang ibu yang bernama Maridah. Mu’tashim adalah seorang pejuang Mu’tazilisme di istananya.  Mu’tashim meninmggal pada tahun 842 M.
Dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Akan tetapi semuanya dapat dipadamkan.
Dia memindahkan ibu kotanya dari Bagdad ke Surra man Ra’a (yang kemudian menjadi Samura, artinya secara bahasa adalah yang melihat akan senang). Faktor penyebabnya bahwa ia pada saat itu sibuk mencari orang-orang yang berasal dari turki sehingga harus mengutus orang-orangnya ke berbagai tempat seperti Samarkand, Farghanah dan yang lain untuk dibeli. Untuk keperluan ini ia telah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Al-Mu’tashim memberikan pakaian kepeda orang-orang Turki dari bahan sutera dan berbagai hiasan dari emas. Orang-orang Turki ini sering kali memacu kudanya di tengah-tengah Kota Bagdad sehingga terasa menjadi sesak dengan para pendatang baru ini.



    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Namun itulah yang dapat kami usahakan. Kami mengharapkan saran ataupun kritikan yang membangun demi kebaikan dan kelengkapan makalah selanjutnya.



[1] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 2010), Hlm. 101
[2] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011) hlm 71-72.
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011) hlm 71-72.
[4] Imam As-Suyuthi,Tarikh Khulafa’ (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000) hlm 404.
[5] Badri Yatim,  Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003) hlm 53.
[6] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011) hlm 144-145.
[7] Fatah Syukur,Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010) hlm 101.
[8] Imam As-Suyuthi,Tarikh Khulafa’ (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000)  hlm 405.
[9] Imam As-Suyuthi,Tarikh Khulafa’ (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000)  hlm 409-410.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar