profil

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan Prodi PGMI 2012

Selasa, 18 Juni 2013

review studi islam kontemporer



Review Buku Studi Islam Kontemporer
16 Juni 2013
Oleh : Diasih Azzahra
123911122
Judul            : Studi Islam Kontemporer
Penulis         : M.Rikza Chamami, M SI                     
Penerbit       : Pustaka Rizki Putra (Semarang)
Cetakan        : Cetakan pertama
Tahun terbit : Desember 2012
Tebal buku   : 228 halaman + xii
       Dalam buku ini banyak memberi saya informasi mengenai Islam sebagai Ilmu pengetahuan, serta tanggapan terhadap fakta studi Islam terhadap hal tersebut. Mulai dari pendeskripsian studi Islam yang meliputi empat pola, yaitu : Studi Peradaban Islam, Studi Filsafat, Studi ruh sumber Islam dan Studi kawasan dan penjelasannya dengan sangat detail. Untuk lebih jelasnya,  buku yang berjudul Studi Islam Kontemporer ini berisi sepuluh bab, yaitu :
            Bab 1  :   Pasang Surut Kebangkitan Kebudayaan dan Keilmuan: Protes Disintegrasi Abbasiyah.
       Pada bab ini, penulis membahas betapa besarnya sejarah perkembangan peradaban islam. Disini dijelaskan bahwa pasang surut kebangkitan kebudayaan dan keilmuan : potret disintegrasi Abbasiyah. Dinasti ini didirikan oleh keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad, Abdullah Al-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abbas.dinasti ini berkuasa cukup lama sekitar 508 tahun (750 M/132H – 1258 M/656H) yang berpusat di Bagdad, memiliki karakter kebijakan yang dihasilkan untuk mendapat sebuah kekuasaan dalam agama. Dinasi abbasiyah merupakan dinasti imperium islam kedua yang menggantikan umayyah pada tahun 132/749. Konsolidasi dinasti ini memiliki political will yang benar-benar profesional dan disamping itu, dinasti abbasiyah juga mengalami disintegrasi yang akhirnya mengakibatkan pasang surut atas kebangkitan kebudayaan dan keilmuan. Perkembangan dinasti abbasiyah dapat diklasifikasikan menjadi 3 periode: pertama, periode perkembangan dan puncak kejayaan (750-950 M). Kedua, periode disintegrasi (950-1050 M) yang ditandai dengan upayawilayahwilayah melepaskan diri dan minta otonomisasi, serta berkuasanya dinasti Bani Buwaihi dari Persia ke dalam pemerintahan khalifah di Bagdad. Dan ketiga, periode kemunduran dan kehancuran (1050-1250 M).
       Dengan terjadinya disintegrasi ini, berdampak juga pada sektor-sektor lain yang mengalami gangguan yaitu sendidikan, kebudayaan, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Denagn semaikn melemahnya pemerintahan Abbasiyah yang di tandai dengan menurunnya kharisama istana, ketidakjelasan mekanisme politik dan administrasi negara, kemerosotan ekonomi serta munculnya berbagai pemberontakan. Secara geografis, terlalu jauhnya jarak antara pemerintahan pusat dengan wilayah. Secara politis, para gubernur menghendaki otonomi kekuasan. Secara ideologis terdapat pertentangan paham antara Bagdad yang Sunni dan beberapa wilayah seperti persians, turks, dan arabians.
       Pemerintahan Abbasiyah pertama merupakan zaman paling sesuai untuk kebangkitan kebudayaan. Kebudayyan akan berkembang luas di kalangan umat yang berada dalam keadaan yng tentram dan ekonomi yg stabil. Kemudian muncullah para penyair-penyair yang mahir, filosofi, ahli sejarah, ilmu hisab, tokoh agama dan pujangga yang mahir berbahasa arab. Kebangkitan ilmiah terbagi menjadi tiga lapangan: pertama, kegiatan menyusun buku-buku ilmuah. Pada tahun 143 H, para ulama mulai menyusun hadits, fiqih, tafsir, buku-buku arab, sejarah. Kedua, mengatur ilmu-ilmu islam. Ilmu islam yang mengalami perubahan dan perkembangan besar di zaman pemerintahan abbasiyah yaitu ilmu tafir, fiqih, nahwu, sejarah, terjemahan dari bahasa asing. Juga terdapat buku yang yanag telah di terjemahkan karya nasrani dan persia ke dalam bahasa arab yaitu mengenai hukum, filsafat, astronomi, kedokteran seperti al-Fazari dan al-Farghani dan tokoh yanag terkenal dalam bidang kedokteran yaitu Ibnu Sina dan Al-Razi.
             Bab 2 :   Kajian Kritis Dialektika Fenomenologi dan Islam
       Dalam bab ini, penulis mencari otensitas islam dengan pendekatan studi islam yang mampu membedah wujud islam melalui fenomenologi. Bahwa seluruh alam adalah sebuah buku besar yang penuh dengan tanda-tanda tuhan bagi mereka yang mau merenungkannya.
       Dalam filsafat fenomenologi bahwa suatu gejala tidak perlu harus diamati indera, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah, dan tidak berupa kejadian. Sifat-sifat pokok dari fenomenologi secara luas, tapi yang kita harus tahu adalah arti sempitnya yaitu arti sebagai metode. Metode fenomenologi yaitu metode yang berusaha untuk menjelaskan dan mengungkapkan sesuatu menurut suatu fenomena. Biasanya obje yang di teliti mengarah kepada kondisi dan pengalaman rohani. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Edmund Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang ada. Fenomenologi memperhatikan benda yang konkrit, dalam pengertian bukan wujud dari benda itu melainkan struktur pokok dari benda tersebut. Pendekatan ini digunakan untuk memahami arti, peristiwa serta keterkaitannya terhadap orang-orang dalam situasi tertentu.
       Kajian fenomenologis terhadap esensitas keberaganaan manusia muncul karena adanya ketidakpuasan para agamawan terhadap kajian historis yang hanya mengkaji aspek-aspek normativitas agama dari kulit luar saja, sedangkan aspek internalitas-kedalaman keberagamaan kurang tersentuh.
       Fenomenologi memang ilmu pengetahuan tentang apa yang tampak. Seperti yang sudah tersirat dalam namanya fenomenologi mempelajari yang tampak atau apa yang menampakkan diri yang tadinya bersifat normatif menjadi fenomena yang bersifat empiris.
            Bab 3 : Filsafat Materialisme Karl Mark dan Friedrick Engels
       Dalam bab ini, penulis membahas mengenai filsafat yang sering di sebut sebagai ilmu yang menyelidiki dan menentukan tujuan terakhir serta makna terdalam dari realita atau hakikat manusia. Aliran filsafat sudah berkembang sejak lama yang di wariskan Immanuel Kant dikembangkan oleh aliran spekulatif-idealisme yang di bawa Fichte, F.W.J Schelling, G.W.F Hegel. Selain itu, dari aliran lain yaitu aliran positivisme dibawa August Comte dan aliran materialisme yaitu Karl Marx dan Friedrich Engels.
       Karl Heinrich Marx lahir 5 Mei 1818 di Trier, kota di perbatasan Barat Jerman yang saat itu masuk wilayah Prusiia. Ia sangat ahli dalam bidang filsafat, tetapi ia dikenal sebagai lelaki yang payah, otoriter, dan dalam debat selain tak mau kalah, dia juga suka mememburukkan pribadi temannya. Ia mnemiliki sahabat karib yang bernama Friedrich Engels lahir di Barmen Jerman 1820 dan meninggal di London 1895. Ia adalah anak seorang pemilik pabrik tenun di Barmen Jerman. Ia bersama Karl Marx melanjutkan pekerjaan ilmiahnya denagn menulis Manifesto Parti Komunis yang terbit tahun 1848.
       Filasafat Materialisme muncul sebagai reaksi ketidaksepakatan terhadap potivisme dan idealisme. Karena positivisme membatasi diri pada fakta-fakta, karena realitas seluruhnya terdiri dari materi bahkan Marx menganggap kalau materi merupakan hal yang utaman, sementara pikiran wilayah konsep dan ide yang begitu penting hanya merupakan refleksi. Marx dan Engeles menilai filsafat sebagai materialisme dialektis serta materialisme historis belaka.
       Marx disamping mengemukakan gagasan materialisme, ia juga melontarkan kritik tentang agama dengan menulis buku yang berjudul “ Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Law “ yang merupakan sumbangan kritik terhadap filsafat hukum. Landasan untuk kritik sekuler adalah: manusialah yang menciptakan agama, nukan agama yang menciptakan manusia.
            Bab 4: Skeptisisme Otentitas Hadits: Kritik Orientalis Ignaz Goldziher
       Hadits sebagai bagian dari sumber agama islam yang disabdakan Nabi adalah interpretasi dari al-Qur’an. Akan tetapi di luar islam ada kalangan yang meragukan hadits sebagai sabda Nabi yang bersifat suci. Hadits dipahami hanya sebatas rekayasa kelompok tertentu untuuk kepentingan politik dengan kedok sabda Nabi. Padahal melakukan pekerjaan mengkritik dan meneliti hadits bukan tidak memiliki resiko, yang paling nyata, selain banyak disukai orang, tetapi tidak sedikit pula apriori. Tidak dipungkiri, kritik hadits yang dilakukan para orientalis itu tidak sama dengan apa yang dilakukan para ulama.
       Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis Hongaria yang dilahirkan di Szekesfehervar, Hongaria. Dia termasuk keturunan dari keluarga yahudi. Dalam usia dua belas tahun, ia menulis suatu risalah mengenai asal-usul dan waktu yang tepat bagi sembahyang orang-orang Yahudi yang di sebut Piyyuts. Di luar negeri, dia menjadi anggota kehormatan dari akademi-akademi, delapan perkumpulan orientalis, tiga perkumpulan sarjana di luar negeri dan ikut pula sebagai anggota Royal Asiatic Society, Asiatic Society of Bengal, The British Academy dan The American Oriental Society. Ada beberapa karya ilmiah yang telah ia tulis, diantaranya Die Zahiriten, Ihr Lhrsystem und Geschicte, yang membahas perkembangan sejarah aliran Zahiri.
       Ignaz Goldziher orang yahudi kelahiran Hongaria berkebangsaan jerman, kemudian diikuti oleh Joseph Schacht juga orang yahudi berkebangsaan Jerman. Kajian dan penelitian kedua orientalis ini menyimpulkan tidak adanya otentisitas/kesahihan hadits Nabawi kusussnya yang berkaitan dengan hukum islam. Goldziher dan Schacht dalam buku mereka “ muhammadenische studiens” dan “ the origin of muhammaden yurisprudence” bahwa hadits bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua hijriah itu hanyalah buatan para ulama. Serta produk catatan hadits terakhir berasal dari dunia abad ke 3 sampai ke 9 Hijriyah. Namun apa yang dikemukakan oleh Goldziher dan Joseph tidaklah benar, karena secara eksplisit ditegaskan Al – Quran pada serat Al Maidah ayat 3.
            Bab 5: Telaah Sosio-kultural: Manhaj Ahlul Madinah
       Hukum islam dianggap sebagai hukum yang sakral oleh orang-orang islam, yang mencakup tugas-tugas agama yang datang dari Allah dan diwajibkan terhadap semua orang islam dan semua aspek kehidupan mereka. Apabila al-Qur’an atau hadits shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepeda ummat sebelumnya, kemudian al-Qur’an atau hadits menetapkan bahwa hukum tersebut diwajibkan pula kepada ummat islam sebagaimana diwajibkan kepeda mereka, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at bagi kita dan sebagai hukum yang harus kita ikuti. Misal kewajiban puasa yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183.
       Setelah Rasulullah SAW wafat, ketika ada permasalahan yang tidak ada ketentuannya dalam nash,  para ulama merasa mempunyai kewajiban untuk memberi penjelasan dan penafsiran nash Al-Qur’an dan as-sunnah dengan berijtihad. Namun dalam melakukan ijtihad perspektif yang mereka gunakan berbeda, ada yang lebih menekankan pada penggunaan dasar nash Al-Quran, dan as-sunnah, dan  lebih memilih hadits Nabi Muhammad SAW yang bersifat ahad daripada menggunakan akal, jika hadits tersebut memenuhi syarat keshahihannya  atau yang dikenal dengan ahlul hadits, dan ada yang sering mendahulukan pendapat akal daripada hadits-hadits ahad, dan merka sangatlah selektif dalam menerima hadits-hadits yang dikenal dengan ahli ra’yu. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan sosio kultur.
       Kelompok ahlul hadits lebih mendahulukan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang bersifat ahad daripada pendapat akal, jika hadits-hadits tersebut memenuhi syarat kesahihannya. Tokoh yang lahir dari kalangan ahlul hadits yaitu: Madzhab Syafi’i, Madzhab Maliki, dan  Madzhab Hambali, karena mereka lahir di Madinah dimana mayoritas penduduknya hafal hadits.  Sedangkan imam yang lahir dari golongan ahli ra’yu yaitu Imam Hanafi.
            Bab 6: Postmodernisme: Realitas Filsafat Kontemporer
       Kehidupan yang serba positivistik dan serba terukur sebagai konsekuensi dari pendewaan akal pikir telah gagal mengatasi problem kehidupan. Kegagalan modernisme itu telah melahirkan gerakan postmodernisme yang mendekonstruksi pemikiran modernisme. Gerakan postmodernisme telah merambah ke berbagai bidang kehidupan, termasuk seni, ilmu, filsafat, dan pendididkan. Arus postmodernisme, yang merupakan respons keras atas modernisme. Postmodernisme oleh J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne (1979), diartikan secara sederhana sebagai incredulity towards metanarratives (ketidakpercayaan terhadap matanarasi). Kegagalan modernisme itu telah melahirkan gerakan postmodernisme yang mendekonstruksi pemikiran modernisme.
       Konsep posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh para fungsionalis, rasionalais, interpretif, dan teori kritis. Posmo lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna prespektif dan problematik, logika yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borcherts (1996), logika discovery menurut Noeng Muhajir (1998), atau logika inquiry menurut Conrad. Posmo menggantikannya dengan perbedaan, pertentangan, paradoks, dan dilematik, serta plasmo lebih melihat realitas sebagai problematik. Ciri dunia postmodern yaitu  kondisi dimana kenyataan sebenarnya kalah oleh citra dan penampakan media. Adapun yang ditolak pascamodernisme adalah setiap gaya pikir yang menotalkan diri dan bergerak universal.
       Mengenai modenisme tersebut, muncul dua aliran yang mempunyai tanggapan berbeda, yaitu pascamodernisme skeptis menjawab bahwa setelah modernisme, yang ada hanyalah pluralisme radikal, tanpa adanya makna atau kebenaran tunggal yang berperan sebagai pusat, serta kebenaran atau makna absolut dianggap mustahil. Yang kedua yaitu pascamodernisme alternatif, gairah pluralisme justru membawa visi baru tentang kebenaran, yakni tidak lagi sebagai Kebenaran (dengan K besar) yang menyandang peran pusat, melainkan kebenaran-kebenaran (dengan K kecil) yang bersifat lokal dan mini-naratif.
       Akbar S Ahmed dalam karyanya, Postmodernisme and Islam (1992) mengingatkan bahwa pada prinsipnya, postmodern mengandung harapan sekaligus ancaman: elektisisme sebagai identitas etnis yang beragam tidak menjamin toleransi satu dengan yang lain. Heterogenitas etnis justru bisa menjadi lahan persengketaan dan permusuhan.
            Bab 7: Potret Metode dan Corak Tafsir Al-Azhar
       Al-Qur’an adalah kalam Allah yang tiada tandingannnya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan Rasul dengan perantara malaikat Jibril, dimana keotentikannya dijamin oleh Allah. Agama memang sangat membutuhkan tafsir untuk memudahkan umatnya memahami makna pesan Tuhan dalam kitab sucinya.
       Sakah satu kitab tafsir yang terbit di Indonesia adalah tafsir al Azhar karya Hamka. Hamka merupakan tokoh yang lahir di Minang tepatnya di tanah sirah, pada tanggal 13 Muharram 1362 H, dari ayah yang bernama Syekh Abdul Karim Amrullah. Hamka memiliki warisan predikat keulamaan secara genelogis yang ditanamkan andung (nenek) kepadanya lewat cerita “sepuluh tahun” menjelang tidur. Beliau memanifestasikan dirinya dalam berbagai aktivitas, diantaranya yaitu sebagai sastrawan, budayawan, ilmuan Islam, dan lain-lain. Dan salah satu karyanya yaitu Tafsir Al-Azhar.
       Tafsir Al-Azhar berasal dari kuliyah subuuh yang diberikan oleh Hamka di masjid agung Al-Azhar, sejak tahun 1959. Namun pada tanggal 12 Ramadhan 1383 H, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian dihadapan kurang lebih 100 orang kaum Ibu di masjid Al-Azhar, ia ditangkap oleh penguasa Orde Lama, lalu dijebloskan kedalam penjara.namun, disanalah ia memiliki kesempatan untuk memulai menulis Tafsir Al-Azhar. Hamka pernah dipindahkan ke rumah sakit Persahabatan, Rawamangun, dikarenakan kesehatannya yang menurun. Namun disana beliau juga masih meneruskan menulis Tafsir al-Azhar. Ketika Orde Baru, Hamka bebas dari tuduhan tahanan, karena kekuatan PKI pada masa itu ditumpas. Setelah keluar dari tahanan, Hamka menggunakan waktunya untuk memperbaiki serta menyempurnakan Tafsir al-Azhar tersebut.
       Metode yang digunakan Hamka dalam penulisan Tafsir al-Azhar yaitu metode tahlili (analisis) bergaya khas tertib mushaf, atau dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yag terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Adapun corak yang dipakai yaitu al-adabi al-Ijtima’i-Sufi (sosial kemasyarakatan) adalah corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya yang menarik.

            Bab 8 : Diskursus metode hermeneutika Al-Qur’an
       Terminologi Hermeneutika adalah salah satu paradigma keilmuan yang terkait dengan menafsirkan teks-teks kita suci, juga tekenal sebagai betuk metode filsafat kontempore yang mencoba menguak makna suatu teks. Hermeneutik digunakan sebagai jembatan untuk memahami Islam secara global, baik secara historis-sosiologis maupun semiotis-kebahasaan. Hermeneutika merupakan cara-cara untuk menafsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk – bentuk lainnya, untuk memahami kitab-kitab suci yang dilakukan oleh agamawan. Pengalaman secara verbal terhadap kitab suci harus tunduk di bawah aturan yang sama dengan yang di lakukan terhadap teks lain. Metode hermeneutika sebagai penafsiran kitab-kitab suci mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran seperti filologi.
       Hermeneutika dalam konteks al-Qur’an sering dinilai rancu, karena hermeneutika muncul dari tradisi barat yang banyak dihasilkan oleh orang non muslim. Sedangkan al-Qur’an merupakan kitab suci umat muslim, sehingga tidak mungkin dengan mudah menerima produk dari orang non muslim. Hermeneutika al-Qur’an merupakan istilah yang masih asing dalam wacana pemikiran Islam. Diskurus penafsiran al-Qur’an tradisional lebih mengenal istilah al-tafsir, al-ta’wil, dan al bayan. Namun, sekarang ini hermeneutika sudah mulai digunakan sebagai metode tafsir al- Qur’an karena merupakan salah satu metode untuk membedah kandungan ayat al-Qur’an dengan menyesuaikan konteks dan membuat ayat tersebut menjadi kontekstual. Sehingga yang muncul hanyalah dialog al-Qur’an antara teks dan konteks.

            Bab 9: Jawa dan Tradisi Islam Penafsiran Historiografi Jawa Mark Woodward
       Clifford Geertz, seorang antropologi terkemuka Amerika mengatakan kalau Islam itu sinkretik, serta membagi Islam di Jawa menjadi tiga varian, yakni abangan, santri, dan priyayi. Munculnya kaum Santri dan Abangan merupakan produk dan pantulan islamisasi Jawa. Berasal dari riset sosio-kultural terhadap “Orang Jawa “ dan “masyarakat Jawa” yang telah mengalami abstraksi dan generalisasi berdasarkan studi di lapangan. Maka terciptalah buku yang berjudul Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, oleh Niels Mulder, dimana buku tersebut mencampurkan gagasan-gagasan mengenai budaya dan kepercayaan jawa Masa pra islam, sejarah masuknya islam di Jawa, sikap religiusitas masyarakat Jawa, interelasi nilai Jawa dan islam, dunamika nilai islam Jawa menghadapi modernitas, dan aqidah islam dan ritual Jawa dalam uamt islam di Jawa. Dan dalam buku tersebut berisi tentang banyak hal mengenai Islam dan Jawa, diantaranya yaitu :  hubungan tradisional dan modernisasi, serta kepribadian Jawa bertemu dengan proyek pembangunan di Indonesia.
       Secara umum, Schrieke membagi proses islamisasi Jawa menjadi dua bagian yaitu proses yang bersifat ortodoks (sinkretis) dan proses ortodoksi (tradisi).  Kedua proses tersabut dikenal dengan istilah heterodoks dan ortodoks atau sinkretis dengan tradisi. Menurut Mark R. Woodward kitika melakukan penelitian pada tahun 1980-an yang melakukan penelitian studi tentang hindu dan budha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen hindu dan budha dalam sistem ajaran islam di Jawa. Beliau berpendapat mengenai “Islam Jawa” yang kemudian disimplikasikan sebagai “kejawen”- sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa ( Hindhu dan Budha ), tetapi tidak lain hanyalah berkembangnya Islam arab, Islam India, Islam syiria, dan lain sebagainya. Yang paling terlihat dari islam Jawa yaitu kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat hindu dan budha yang paling maju.

            Bab 10 : Reinterpretasi Profil Peradaban Islam
       Pada pembahasan bab terakhir dalam buku ini menjelaskan tentang hiruk pikuk peradaban Islam. Peradaban dan perubahan merupakan dua peristiwa yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya karena manusia merupakan pelaku utama kegiatan untuk membangun peradaban itu.
       Peradaban merupakan bentuk kebudayaan yang paling ideal dan puncak, sehingga menunjukkan keadaban, kemajuan, dan kemakmuran suatu masyarakat. Apabila kebudayaan bersifat abstraksi seperti sains murni, maka peradaban adalah hasil penerapannya seperti teknologi dan produk-produknya. Dan manusia bisa dikatakan berperadaban ketika dia telah berkebudayaan. Sejarah peradaban Islam mengandung makna perkembangan atau kemajuan Islam dalam perspektif sejarah. Sedangkan peradaban Islam yaitu peradaban umat Islam yang lahir dari motivasi keagamaan dan diwujudkan dalam berbagai bentuk, yang mana bisa berasal dari ajaran Islam secara murni maupun hasil elaborasi dengan unsur-unsur lain yang masih senafas dan tidak bertentangan.
       Islam pernah mengalami kejayaan yang luar biasa, adapun pusat peradaban Islam saat itu berada di Baghdad, Kairo. Persia, Istambul (turki). Ketika itu Islam memiliki perpustakaan yang dipenuhi beribu – ribu buku ilmu pengetahuan yang disebut Bait al Hikam (Baghdad), adanya pembaharuan dibidang administrasi, pembangunan ekonomi, serta toleransi beragama (Kairo), melakukan pembangunan di berbagai sektor (Persia, Istambul). Kemajuan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: adanya niat baik dari penguasa untuk mengusulakn Islam, Sumberdaya manusia yang handal, serta letak geografis.  Namun karena kelengahan umat Islam, kejayaan itupun akhirnya rutuh yang ditandai dengan runtuhnya dinasti Abbasiyah oleh pasukan mongol. Apabila masyarakat Islam tidak dalam posisi marjinal dan punya rasa percaya diri yang tinggi, maka mereka akan mampu menampilkan wajah Islam yang terbuka, progresif, kosmopolit, serta berkarakter liberal.

Kelebihan dan kelemahan buku :
       Dalam buku ini banyak membahas mengenai islam secara luas dan mendasar, tetapi di samping itu buku ini juga terdapat kekurangan dan kelebihannya. Dalam buku ini menggunakan bahasa ilmiah yang membuat pembaca penasaran maksud dari bahasa tersebut. Dalam buku ini juga membatu mahasiswa mendapatkan rujukan dalam ilmu studi Islam secara lebih terperinci.
       Tetepi, di samping itu Bahasa yang di gunakan mungkin agak menyulitkan pembaca untuk dapat memahaminya, karena bahasa yang di gunakan sangat asing di telinga para pembaca ataupun di semua kalangan yang membacanya. Halaman yang tercantum dalam daftar isi tidak sesuai dengan pembahasan dalam buku tersebut.
       Demikian review yang bisa saya buat dari Buku Studi Islam Kontemporer. Semoga Ilmu yang saya peroleh setelah mempelajari buku ini bisa bermanfaat, khususnya bagi diri saya sendiri. Amin.